Dalam bukunya Ilustrasi Kebenaran Alkitab 2, Pdt.Paulus Daun, M.Div, Th.M, mengisahkan tentang penelitian yang diadakan terhadap kehidupan 2 orang wanita, yang seorang bernama Sarah Ewards dan seorang lainnya bernama Katryn Take. Keduanya hidup pada abad 18.
Sarah Edwards adalah istri seorang pendeta yang memiliki 11 anak. Anak-anaknya dididik dengan adil dan penuh kasih sesuai ajaran Alkitab. Dikatakan adil dan penuh kasih karna Sarah menerapkan pendidikan dan disiplin terhadap aturan dalam keluarga, termasuk ajaran Alkitab serta memberi perhatian dan arahan terhadap 11 anaknya berlandaskan pada cinta kasih Tuhan. Ia dicatat memiliki 1400 keturunan. Yang luar biasa, keturunannya banyak diberkati kehidupan mereka. Ditemukan antara lain:
• Rektor Universitas : 13 orang
• Dekan Fakultas Hukum : 1 orang
• Dekan Fakultas Kedokteran : 1 orang
• Hakim Agung : 30 orang
• Dosen : 65 orang
• Sarjana Hukum : 100 orang
• Dokter : 66 orang
• Pejabat penting : 80 orang, diantaranya:
Walikota : 3 orang
DPR : 3 orang
Wapres : 1 orang
Menkeu : 1 orang
Pengawas : 3 orang
Wanita kedua Katryn Take, hidupnya kacau diwarnai berbagai skandal, dan kemudian berakhir karna keracunan minuman keras. Diteliti 700 keturunannya dan didapati:
Narapidana : 46 orang
WTS : 181 orang
Pengemis : 142 orang
Anak tidak sah : 100 orang
Keduanya sama-sama wanita, sama-sama ibu dari anak-anak, tapi keadaan keturunannya berbeda sekali. Di mana bedanya? Terletak pada pendidikannya.
Firman Allah menyatakan: Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari jalan itu. (Amsal 22:6).
Beda mendidik, hasilnya memang berbeda.
Pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan serta akhlak yang mulia. Pendidikan biasa disebut juga edukasi. Pendidikan (edukasi, education) berasal dari kata bahasa Latin ex ducere (ex: keluar; ducere: menarik = menarik keluar) menjadi educare, educatio. Dengan demikian pendidikan (educatio, education, edukasi) dapat diartikan sebagai proses menarik keluar segala potensi yang ada dan dimiliki peserta didik oleh peserta didik sendiri dengan bantuan pendidik.
Proses menarik keluar inilah yang perlu digarisbawahi sebagai proses pembelajaran yang aktif, kreatif dan inovatif. Bahwa manusia sebagai subjek pendidikan, dan dengan demikian anak sebagai manusia, pada dasarnya memiliki potensi (kemampuan) luar biasa melampaui yang ia pikirkan. Namun, potensi itu belum tergali; butuh proses untuk menggali dan menarik keluar (Pos Kupang, 20 September 2017).
Potensi anak sejak dilahirkan di dunia perlu dikeluarkan dan dituntun. Dalam perspektif sederhana, edukasi adalah upaya mengantar atau melepas anak keluar, yakni dari kebodohan, keterbelakangan, ketergantungan, ketertinggalan dan keterpurukan dengan memaksimalkan potensi yang ada pada diri mereka.
Kalau tidak dididik dengan baik, yang jelas anak-anak akan tetap bodoh, tertinggal, dan tetap begantung pada orang tua.
• Kalau anak bodoh, hidupnya akan suram
• Kalau tertinggal, anak sulit untuk bersosialisasi
• Kalau terus bergantung pada orang tua, maka apa yang terjadi bila orang tua tidak ada lagi. Tidak baik kalau dari bayi hingga akil baliq orang tua masih harus menafkahi.
Hidup tidaklah mudah, apalagi di masa-masa sekarang. Kalau anak tidak dididik dengan baik, maka hari esoknya bisa kelam dan mencemaskan. Warisan yang terbaik dari orang tua kepada anak-anak adalah pendidikan yang baik dan terarah. Dengan bekal pendidikan yang baik, hidup dan masa depan anak dapat diharapkan yang terbaik. Tuhan menjanjikan masa depan yang penuh harapan, tetapi kita juga harus memperjuangkan yang terbaik bagi anak-anak, terutama bekal pendidikan.
Jika orang tua mewariskan harta semata, harta bisa berubah jadi pedang di antara anak-anak. Bila mewariskan pendidikan, anak-anak tidak bisa saling merampas, karna pendidikan tertanam dalam diri pribadi masing-masing anak.
Memang tidak gampang mendidik anak-anak. Tantangan dapat muncul dari orang tua sendiri, yang kadang-kadang terlalu menguasai anak-anak dan protektif terhadap anak-anak secara berlebihan, padahal pendidikan anak adalah soal mengentaskan mereka dari berbagai kungkungan ketakberdayaan.
Pujangga Libanon, Kahlil Gibran, mengumpamakan Tuhan sebagai pemanah, orang tua sebagai busur dan anak-anak sebagai anak panah.
Kahlil Gibran bersanjak:
“Anakmu sebenarnya bukan milikmu.
Mereka adalah anak Sang Hidup,
yang mendambakan hidup mereka sendiri.
Mereka memang datang melalui kamu, tapi mereka bukan milikmu.
Engkau bisa memberikan kasih sayang,
Tetapi engkau tidak bisa memberikan pendirianmu
Sebab mereka memiliki pendirian sendiri
…………………………………………………………………………………
Engkau adalah busur dari mana bagai anak panah,
Kehidupan anakmu melesat ke masa depan
Sang Pemanah maha tahu sasaran bidikan keabadian
Dia merentangmu dengan kekuatannya,
Hingga anak panah itu melesat jauh serta cepat
Meliuklah dengan sukacita dalam rentangan tangan Sang Pemanah
Sebab Dia mengasihi anak panah yang melesat laksana kilat
Sebagaimana pula dikasihiNya busur yang mantap.
Mazmur 127:4 menyatakan: Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda. Ayat kitab suci ini tentu mempengaruhi dan menjadi inspirasi bagi Kahlil Gibran dalam sanjaknya, di mana anak-anak memang diumpamakan seperti anak panah.
Semoga Tuhan memampukan setiap orangtua yang beriman pada Kristus, agar sebagai busur dapat melesatkan anak panahnya menuju sasaran bidikan yang tepat
Dengan kekuatan Firman Tuhan, kuasa Roh kudus dan doa-doa yang membekali hidup anak-anak, tentu mata orangtua akan menyaksikan, bagaimana Tuhan menggenapkan janji-janji manisNya dalam kehidupan anak-anak mereka.
Mazmur 112:1-2 : Haleluya! Berbahagialah orang yang takut akan Tuhan, yang sangat suka kepada segala perintah-Nya. Anak cucunya akan perkasa di bumi; angkatan orang benar akan diberkati.
Amin.
Salam kasih,
P.A. Elliek